Gapura Maqom Prabu Sanghyang Boros Nora |
Prabu Sanghyang Boros Ngora. Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu
Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah
pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu
ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan
singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita).
Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II
menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora
dipersiapkan untuk menjadi Patih dan Senapati Kerajaan (panglima perang). Oleh
karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana,
petapa dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai
ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.
Beberapa
tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan
upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang
Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian
lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang
Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain
adu pedang melawan Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana
dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu
pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora
tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tatto) yang menandakan pemiliknya
menganut ilmu kesaktian aliran hitam.
Prabu
Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu
tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup
orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci,
tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya.
Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu
terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang
benar, ilmu yang suci, ilmu yang lurus, ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan.
Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati
atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang
dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air.
Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk
air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.
Untuk
kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia
berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang
dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk
bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan
petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia
mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan,
yaitu di tanah suci Mekah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang
Borosngora tiba di Mekah dalam sekejap mata.
Di
Mekah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya
agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang
dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar
ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir.
Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka
tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua. Karena terkejut dengan kedatangan
tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah
berpasir.
Lelaki
misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam
sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap
di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena
ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena
kesaktian yang dimilikinya itu. Setelah bertanya apa keperluannya datang ke
tendanya, lelaki itu meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya
yang tertancap di pasir.
Sang
pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena
yang menancap di pasir itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun
segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum alat tulis itu tak bergeming barang
sedikitpun. Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di
hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui
kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang
pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat
mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi
Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat
seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu
bisa dicabut dengan mudah olehnya.
Setelah
peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekah untuk menimba
Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al
Islam. Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh
Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang
Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi
cinderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian
kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam
dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak
menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan
sempurna.
Ringkas
cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita
oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga
menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah
uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai
pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera
mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II. Air zam-zam yang dibawanya dijadikan cikal
bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang
mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya
dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang
bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya
dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama
Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.
Prabu
Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu karena
merasa berbeda dengan ajaran yang dibawa oleh adiknya, ia kemudian hijrah ke
daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru
di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta
Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai
kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.
Sebagai
media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat
Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi
ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang
setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang
menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan
masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang
Borosngora.
Sumber : Wikipedia
1 komentar:
Assalamu'alaikum.. maaf klo boleh tau, dimana tepatnya letak maqom prabu sanghyang boros ngora sekarang. Terima Kasih atas kesediaannya menjawab pertanyaan saya. Wassalam..
Posting Komentar